Boleh
suka atau tidak suka. Sesungguhnya negeri ini negeri yang terkutuk.
Diisi manusia-manusia jahat di semua lapisan ada. Tidak ada yang
terkecuali. Perbuatan jahat dengan berbagai jenis dan variasinya,
seperti sudah menjadi keniscayaan belaka.
Mulai
dari penegak hukum, hampir semuanya terlibat dalam sungsang sengkarut
kejahatan, tidak ada yang kalis dari keterlibatan mereka dalam
kejahatan. Penegak hukum di Indonesia seharusnya menjadi tumpuan harapan
rakyat. Menegakkan hukum dan keadilan. Tetapi, hampir semua penegak
hukum terlibat dalam tindakan kotor, yang melawan hukum itu sendiri.
Hakim,
jaksa, dan polisi, tak ada yang kebal dari tindak kejahatan, yang terus
menerus. Rakyat menjadi sangat skeptis. Bagaimana kalau seorang hakim,
ketika mengetukkan palunya, justeru dalam keadaan mabuk. Karena menelan
narkoba. Tidak ada keputusan yang benar-benar adil yang dijatuhkan oleh
hakim kepada seorang pidana, kecuali sudah terjadi transaksi, saat
keputusan itu sebelum dijatuhkan.
Sogok,
suap, korupsi, dan tipu-menipu sudah menjadi bagian keseharian
aktivitas mereka. Tidak ada aparat penegak hukum, seperti hakim, jaksa,
dan polisi, yang selamat dari pengaruh sogok, suap, dan korupsi.
Tentu,
yang paling fenomenal, korupsi Simulator SIM, yang dilakukan oleh Irjen
Polisi Djoko Susilo, yang sampai sekarang tak perkara, di sidik KPK,
sampai tuntas, karena fihak kepolisian, nampaknya tak ikhlas memberikan
KPK menyidik. Sampai para penyidik dari kepolisian yang ada KPK, semua
ditarik dari lembaga itu, dan bahkan pengawalnya Ketua KPK, Abraham
Samad, yang berasal dari satuan kepolisian pun ditarik.
Sekarang
ini, negeri Indonesia benar-benar negeri terkutuk. Semuanya lapisan dan
struktur terlibat dalam kejahatan yang bersifat masif (menyeluruh),
bahkan menurut Ketua Mahkamah Konstitusi (MK), kejahatan narkoba, sudah
masuk ke Istana. Suatu keadaan yang benar-benar gawat yang dihadapi oleh
Republik ini.
Mahfud
MD, tidak salah, dan mengemukakan fakta dengan apa adanya, serta jujur.
Memang sangat tidak masuk nalar, Presiden SBY, yang seharusnya menjaga
konstitusi dan rakyatnya, justeru terjerumus, yang sangat tidak lazim,
dan sebuah pelanggaran konstitusi.
Di
mana menjadi kewajiban seorang kepala negara melindungi segenap tumpah
darah tanah airnya. Tetapi, justeru yang dilakukan memberikan grasi dan
ampunan terhadap mereka yang sudah terang-terangan menjadi ancaman
kemanan nasional.
Apapun
alasan Presiden SBY memberikan grasi terhadap ratu "marijuana" yang
berasal dari Australia, bernama Corby, sangat lah tidak layak dan pantas
dilakukan oleh seorang kepala negara. Corby benar-benar menjadi ancaman
keamanan nasional Indonesia. Bagaimana Corby bisa mendapatkan grasi,
yang sudah jelas-jelas melakukan kejahatan, yang tiada tara terhadap
kepentingan nasional dan keamanan nasional Indonesia, tetapi dibebaskan
oleh SBY?
Belum
lagi hiruk-pikuk tentang Corby usai, dan menimbulkan silang pendapat
diantara ahli hukum, sekarang yang lebih menyentakkan lagi, Presiden SBY
memberikan grasi kepada raja narkoba, "OLA", dan inilah sebuah
kesalahan yang sangat fatal, karena SBY sudah berani pasang batan, dan
tetap ia menyatakan bertanggung jawab atas keputusan yang diambil.
Berarti
negeri ini sudah benar-benar dikuasi oleh jaringan bandit narkoba,
mulai dari istana sampai lp (lembaga permasyarakatan). Istana yang
dijaga begitu keta, bisa ditembus oleh jaringan narkoba, dan kemudian
indikasinya keluarnya grasi terhadap gembong narkoba seperti Corby dan
Ola. Sebuah tanda-tanda negeri ini akan sampai ke ujung dasar jurang dan
tenggelam.
Demikian
pula, lembaga yang seharusnya menjadi kekuatan yang akan menjembatani
kepentingan rakyat, justeru sekarang berjamaah ikut terlibat dalam
korupsi secara luas. Lembaga DPR alias Legislatif, bukan lagi menjadi
pembela rakyat, tetapi mereka kekuatan yang dengan terang-terangan
menzalimi rakyat.
Mereka
dengan kewenangan yang dimiliki mengeruk asset negara dan anggaran
(APBN), seperti dalam berbagai kasus yang ada. Semuanya yang ada
menunjukkan, betapa lembaga DPR alias Legislatif itu, tak secuilpun
mereka yang benar-benar memihak kepada rakyat.
Sebuah
polemik dan kontroversi tentang anggaran (APBN), sebuah yang bersifat
keniscayaan. Terjadi kejahatan kolektif antara legislatif dan ekskutif.
Ekskutif di tiap kementerian ingin menaikkan anggaran kementeriannya
dengan cara nyogok kepada anggota legislatif (DPR). Seperti yang terjadi
dalam berbagai kasus, diantaranya kasus di Kementeria Transmigrasi soal
Pembangunan Infrastruktur, yang memungkinkan terjadinya puluhan miliar.
Koar-koarnya
Menteri BUMN Dahlan Iskan sudah ada sejak dulu, dan sejak zamannya
Menteri BUMN dibawah Sugiharto. Tetapi, efek pemberitaannya tidak
seheboh sekarang ini. Kalangan BUMN ingin mendapatkan penyertaan modal
dari APBN, maka jalan yang ditempuh dengan cara nyogok kepada anggota
DPR, dan sudah sangat berumur tua. Jadi tidak ada yang disebutkan Dahlan
Iskan sebagai bentuk pemerasan, tetapi adanya "deal" antara DPR dengan
para Direktur BUMN, yang ingin mendapatkan penyertaan modal.
Jadi
antara legislatif dan ekskutif sama-sama busuk dan bobrok. Tetapi,
kalau mau dibuktikan dengan cara hukum terbalik, sejatinya yang paling
busuk dan korup itu, tak kalangan ekskutif. Tetapi, sekarang yang
disidik hanyalah kalangan legisalatif belaka. Bayangkan fihak ekskutif
(pemerintah) mengelola anggaran (APBN) sebesar Rp 1600 triliun, tetapi
sepanjang pemerintahan SBY, tidak ada yang signifikan perubahan
pembangunan, seperti pembangunan infrastrukturk.
Apalagi,sekarang
dengan pola koalisi antara partai politik, sejatinya negara ini suah
dikapling-kapling diantara para partai koalisi yang terlibat dalam
pemerintahan SBY. Selama pemerintahan SBY, pos-pos strategis berada
ditangan orang-orang yang dalam barisan partai SBY, yaitu Partai
Demokrat.
Tetapi,
ketika sudah terindikasi korupsi, sangat sulit penyelesaiannya secara
hukum. Seperti dugaan korupsi terhadap Andy Malangrangeng dan Anas
Urbaningrum, sampai sekarang semuanya majal. Tak bisa dijadikan
tersangka. Padahal, saksi-saksi yang memberikan kesaksian suda cukup
sebagai keterlibatan mereka dalam kasus korupsi.
Jadi,
hakim, jaksa, polisi, pengacara, dokter, sampai tokoh agama pun,
sekarang tak bisa bebas. Tokoh agama yang mendirikan partai
politik,kemudia memberikan legitimasi kepada pemerintahan SBY, dan
membiarkan kemungkaran hidup dan merajalela.
Karena
mereka mendapatkan kursi di pemerintahan, dan menyebabkan para tokoh
agama itu, lidahnya menjadi kelu, tidak lagi berani menegur ketika ada
pejabat yang bertindak salah. Nilai-nilai aqidah yang sudah lama
tertanam dalam dada mereka, mereka runtuhkan demi kekuasaan dan jabatan
serta kenikmatan dunia. Inilah yang menyebabkan kerusakan lebih luas di
negeri ini.
Bahkan,
kejahatan itu sudah sangat luas, sampai ke pedagang di pasar-pasar,
misalnya konon pedagang daging, disebuah pasar, di mana pedagang daging,
harus mengoplos dagangan dagingnya dengan daging celeng (babi hutan)
demi mendapatkan keuntungan lebih banyak.
Pokoknya
kejahatan di negeri ini sudah sangat luas, tak ada lagi lapisan sosial,
yang tidak melakukan kejahatan. Memang, wajar karena di negeri ini
sudah tidak ada lagi yang dapat menjadi penutan. Toko-tokoh yang
mendapatkan gelar dan sanjungan yang sangat luas, ternyata mereka
hatinya sudah rusak terkena penyakit akhir zaman, bernama penyakit : NIFAK.
Dari
luar kelihatan baik dan shallih, dan selalu meneriakkan kebenaran,
keadilan dan kebaikan, tetapi sejatinya mereka ini orang-orang yang
paling membenci al-haq alias din (Islam), maka Indonesia terus menuju
kehancuran yang sangat destruktif. Karena, tidak ada lagi, orang-orang
yang ikhlas, dan tidak tergoda dengan aksesoris dunia. Wallahu'alam.
No comments:
Post a Comment